1984: dalam Kaca Mata Orwell
Judul: 1984
Judul Asli: Nineteen Eighty-Four
Penulis: George Orwell
Alih Bahasa: Landung Simatupang
Penerbit: Bentang
ISBN: 979-3062-33-9
Tebal: 585 hlm
Tahun terbit: Desember 2003
Cetakan: Kedua
Peresensi: Evyta Ar
Pernahkah Anda membayangkan setiap gerak-gerik dan ucapan Anda, bahkan bagaimana cara Anda berpikir, diawasi oleh pihak ketiga? Yang jika ada sedikit saja kesalahan atau sesuatu yang mencurigakan, Anda akan langsung ditangkap dan diuapkan (dilenyapkan, red). Tidak ada kebebasan. Anda tidak bisa melakukan apa yang Anda suka. Anda hanya boleh melakukan apa yang pihak ketiga itu perbolehkan. Lagaknya melebihi Tuhan!
Itulah yang terjadi di masa Winston Smith hidup di tahun 1984, saat rezim Partai Bung Besar berkuasa. Setiap aktivitas diawasi dengan teleskrin yang ada di setiap kamar dan tempat-tempat umum. Setiap ucapan disadap. Setiap pikiran warga negaranya dikendalikan. Bahkan, untuk urusan pernikahan pun, hanya Partailah yang berhak memilihkan pasangan. Tidak boleh ada naluri seks alamiah antara suami-istri. Apa yang dilakukan warganya harus sesuai dengan kemauan Partai. Jadi, jika dua tambah dua sama dengan empat, andaikata Partai meminta jawaban lima, maka warga harus menjawab bahwa dua tambah dua sama dengan lima. Sampai-sampai, ada polisi pikiran yang bertugas menciduk para penjahat pikiran. Yang dimaksud dengan kejahatan pikiran adalah apa saja perasaan dan pikiran negatif yang mengarah kepada Bung Besar dan Partai, termasuk perasaan tidak suka, tidak terima, atau tidak ingin. Semua itu dianggap bibit-bibit pemberontakan. Mata Bung Besar ada di mana-mana.
Tokoh kita yang satu ini, Winston, bekerja di Departemen Catatan. Tugasnya adalah membuat revisi di setiap media sesuai perintah Bung Besar. Jika ada berita atau ucapan tokoh-tokoh tertentu di masa lampau yang tidak sesuai dengan kenyataan masa kini, pernyataan itu akan ditarik, dihapus, direvisi dan diterbitkan ulang agar tepat sesuai kenyataan, sehingga orang-orang akan mengetahui bahwa apa yang telah diprediksi itu benar adanya. Inti dari pekerjaannya adalah mengubah fakta sejarah. Kebenaran diubah menjadi ketidakbenaran. Ketidakbenaran diubah menjadi kebenaran. Apa yang kau ketahui bukanlah apa yang sebenarnya.
Winston adalah tipe pria yang tidak mudah menerima semua itu. Ia sering mencari tahu tentang kondisi masa lalu sebelum Partai berkuasa. Ia mencoba hal-hal yang dianggap ‘terlarang’ seperti membeli sebuah buku harian dan menulisinya dengan ungkapan kejujuran perasaannya. Ia ingin Bung Besar hancur. Ia juga tertarik dengan kelompok kebebasan. Winston ingin kebebasan. Dan, semua perasaan serta kemarahan itu ia tumpahkan di setiap Pekan Benci yang diadakan Partai.
Suatu ketika, Winston terlibat hubungan dengan seorang wanita bernama Julia. Siapa sangka hubungan ini justru membawa Winston pada bahaya yang lebih besar dan tak pernah ia duga sebelumnya. Apa yang terjadi kemudian dengan Winston?
Perang ialah damai. Kebebasan ialah perbudakan. Kebodohan ialah ketakutan. (halaman 189)
Novel 1984 yang ditulis Orwell ini merupakan sebuah gambaran distopia dan terbit pertama kali tahun 1949. Bersetting tempat di Airstrip One (Atau dulu dikenal dengan Britania Raya), novel ini menjadi semacam ramalan atas apa yang akan terjadi di masa depan. Pada masa itu, kehidupan warga Inggris, tempat novel ini ditulis, sedang sesak dengan Partai Buruh yang berkuasa. Ditambah lagi bayang-bayang Nazi Jerman dan Cina yang sangat mencekam sebagai imbas dari Perang Dunia. Maka, terbitnya novel ini menimbulkan semacam kengerian dan peringatan. Semakin mendekati tahun 1984, semakin besar pula ketegangan dan kekhawatiran masyarakat.
Pada awalnya, saya cukup kewalahan membaca 1984 ini. Terkesan agak membosankan dan bertele-tele. Kapan konfliknya? Rasanya saya hanya mendengar si Winston mengoceh saja dari waktu ke waktu. Seakan saya sedang masuk menelusuri pikirannya yang terkekang. Buku ini sempat saya endapkan beberapa lama untuk mencari waktu dan mood yang pas saat membacanya. Dan akhirnya, mood itu datang juga. Saya mulai menikmati cerita yang disuguhkan dan mulai memahaminya.
Imajinasi dan ide Orwell untuk novel ini boleh juga. Bagaimana bisa ia memunculkan gagasan distopia seperti ini? Kok bisa sih ia terpikir untuk menyelipkan ide budaya bahasa Newspeak dan Oldspeak pula? Semua gagasan itu terasa sangat menyatu dalam setiap alur dan setting cerita, termasuk karakter tokoh utamanya yang sangat kuat. Saya membayangkan si Winston ini orangnya kuyu, kucel, kaku, matanya agak melotot karena tegang, lalu keningnya meninggalkan bekas kerut karena selalu berpikir dan berpikir.
Secara keseluruhan, 1984 adalah novel yang cukup bagus. Terjemahan Landung Simaputang juga bagus. Sayangnya, ini bukanlah salah satu tipe bacaan yang saya favoritkan buat diri saya pribadi karena di dalamnya mengandung banyak unsur kevulgaran. Yah, namanya juga novel dewasa ya. Meskipun demikian, edisi terjemahan oleh Bentang ini lumayan sudah lebih disamarkan kevulgarannya, tidak ekstrem, mungkin sudah disensor. Selain itu, gagasan seks bebas di dalamnya juga tidak saya setujui. Meskipun setiap orang butuh kebebasan, bukan berarti seks juga bisa bebas-bebas saja dilakukan tanpa ikatan pernikahan. Dan, iya, penilaian saya di bagian ini memang sangat subyektif dan personal.
Lantas, setelah tahun 1984 lewat, apakah novel ini masih relevan? Saya katakan ‘masih’, bahkan dengan tambahan kata ‘sangat’. Mengapa? Anda tahu ‘kan sistem label atau barcode yang sudah familiar saat ini? Atau pernah mendengar tentang chip RFID (Radio-frequency identification)? Sistem label dan RFID sama-sama memungkinkan pengguna mengidentifikasi data apa saja yang diinginkan dari suatu obyek. Label dan RFID bisa dipasang atau dimasukkan ke dalam sebuah produk, termasuk hewan dan manusia. Chip RFID sudah mulai diterapkan untuk memantau hewan-hawan di peternakan. Bahkan, penggunaannya terhadap manusia juga pernah diuji coba di Amerika Serikat oleh salah seorang pemilik klub VIP. Meskipun wacana RFID terhadap manusia menuai pro dan kontra, tapi siapa yang akan tahu jika chip super kecil ini suatu saat juga akan masuk ke dalam tubuh manusia secara massal?
Konsep RFID ini sangat mirip prinsipnya dengan apa yang dikisahkan di novel 1984, hanya saja dengan teknologi yang lebih canggih. Dengan adanya RFID di dalam tubuh manusia nantinya, pengendali chip bisa melakukan track data apa saja seperti data keuangannya, keberadaannya, emosionalnya, dan sebagainya, tergantung apa yang mereka inginkan. Privasi sudah tak lagi dimiliki oleh setiap individu. Dan ini bukanlah sesuatu yang mustahil jika suatu saat akan menjadi kengerian tersendiri sesuai zamannya, seperti yang terjadi saat novel 1984 terbit. Dan rasanya, ilustrasi sampul dengan gambar barcode versi terbitan Bentang ini sangat cocok untuk mewakili isi buku. Jadi menurut saya, ketika muncul pertanyaan di pengantar buku ini, “Apakah novel ini masih akan mampu bertahan di rak buku?”, maka jawaban saya adalah, “Masih.”
#RabuReview #MedanMembaca
Judul Asli: Nineteen Eighty-Four
Penulis: George Orwell
Alih Bahasa: Landung Simatupang
Penerbit: Bentang
ISBN: 979-3062-33-9
Tebal: 585 hlm
Tahun terbit: Desember 2003
Cetakan: Kedua
Peresensi: Evyta Ar
Pernahkah Anda membayangkan setiap gerak-gerik dan ucapan Anda, bahkan bagaimana cara Anda berpikir, diawasi oleh pihak ketiga? Yang jika ada sedikit saja kesalahan atau sesuatu yang mencurigakan, Anda akan langsung ditangkap dan diuapkan (dilenyapkan, red). Tidak ada kebebasan. Anda tidak bisa melakukan apa yang Anda suka. Anda hanya boleh melakukan apa yang pihak ketiga itu perbolehkan. Lagaknya melebihi Tuhan!
Itulah yang terjadi di masa Winston Smith hidup di tahun 1984, saat rezim Partai Bung Besar berkuasa. Setiap aktivitas diawasi dengan teleskrin yang ada di setiap kamar dan tempat-tempat umum. Setiap ucapan disadap. Setiap pikiran warga negaranya dikendalikan. Bahkan, untuk urusan pernikahan pun, hanya Partailah yang berhak memilihkan pasangan. Tidak boleh ada naluri seks alamiah antara suami-istri. Apa yang dilakukan warganya harus sesuai dengan kemauan Partai. Jadi, jika dua tambah dua sama dengan empat, andaikata Partai meminta jawaban lima, maka warga harus menjawab bahwa dua tambah dua sama dengan lima. Sampai-sampai, ada polisi pikiran yang bertugas menciduk para penjahat pikiran. Yang dimaksud dengan kejahatan pikiran adalah apa saja perasaan dan pikiran negatif yang mengarah kepada Bung Besar dan Partai, termasuk perasaan tidak suka, tidak terima, atau tidak ingin. Semua itu dianggap bibit-bibit pemberontakan. Mata Bung Besar ada di mana-mana.
Tokoh kita yang satu ini, Winston, bekerja di Departemen Catatan. Tugasnya adalah membuat revisi di setiap media sesuai perintah Bung Besar. Jika ada berita atau ucapan tokoh-tokoh tertentu di masa lampau yang tidak sesuai dengan kenyataan masa kini, pernyataan itu akan ditarik, dihapus, direvisi dan diterbitkan ulang agar tepat sesuai kenyataan, sehingga orang-orang akan mengetahui bahwa apa yang telah diprediksi itu benar adanya. Inti dari pekerjaannya adalah mengubah fakta sejarah. Kebenaran diubah menjadi ketidakbenaran. Ketidakbenaran diubah menjadi kebenaran. Apa yang kau ketahui bukanlah apa yang sebenarnya.
Winston adalah tipe pria yang tidak mudah menerima semua itu. Ia sering mencari tahu tentang kondisi masa lalu sebelum Partai berkuasa. Ia mencoba hal-hal yang dianggap ‘terlarang’ seperti membeli sebuah buku harian dan menulisinya dengan ungkapan kejujuran perasaannya. Ia ingin Bung Besar hancur. Ia juga tertarik dengan kelompok kebebasan. Winston ingin kebebasan. Dan, semua perasaan serta kemarahan itu ia tumpahkan di setiap Pekan Benci yang diadakan Partai.
Suatu ketika, Winston terlibat hubungan dengan seorang wanita bernama Julia. Siapa sangka hubungan ini justru membawa Winston pada bahaya yang lebih besar dan tak pernah ia duga sebelumnya. Apa yang terjadi kemudian dengan Winston?
Perang ialah damai. Kebebasan ialah perbudakan. Kebodohan ialah ketakutan. (halaman 189)
Novel 1984 yang ditulis Orwell ini merupakan sebuah gambaran distopia dan terbit pertama kali tahun 1949. Bersetting tempat di Airstrip One (Atau dulu dikenal dengan Britania Raya), novel ini menjadi semacam ramalan atas apa yang akan terjadi di masa depan. Pada masa itu, kehidupan warga Inggris, tempat novel ini ditulis, sedang sesak dengan Partai Buruh yang berkuasa. Ditambah lagi bayang-bayang Nazi Jerman dan Cina yang sangat mencekam sebagai imbas dari Perang Dunia. Maka, terbitnya novel ini menimbulkan semacam kengerian dan peringatan. Semakin mendekati tahun 1984, semakin besar pula ketegangan dan kekhawatiran masyarakat.
Pada awalnya, saya cukup kewalahan membaca 1984 ini. Terkesan agak membosankan dan bertele-tele. Kapan konfliknya? Rasanya saya hanya mendengar si Winston mengoceh saja dari waktu ke waktu. Seakan saya sedang masuk menelusuri pikirannya yang terkekang. Buku ini sempat saya endapkan beberapa lama untuk mencari waktu dan mood yang pas saat membacanya. Dan akhirnya, mood itu datang juga. Saya mulai menikmati cerita yang disuguhkan dan mulai memahaminya.
Imajinasi dan ide Orwell untuk novel ini boleh juga. Bagaimana bisa ia memunculkan gagasan distopia seperti ini? Kok bisa sih ia terpikir untuk menyelipkan ide budaya bahasa Newspeak dan Oldspeak pula? Semua gagasan itu terasa sangat menyatu dalam setiap alur dan setting cerita, termasuk karakter tokoh utamanya yang sangat kuat. Saya membayangkan si Winston ini orangnya kuyu, kucel, kaku, matanya agak melotot karena tegang, lalu keningnya meninggalkan bekas kerut karena selalu berpikir dan berpikir.
Secara keseluruhan, 1984 adalah novel yang cukup bagus. Terjemahan Landung Simaputang juga bagus. Sayangnya, ini bukanlah salah satu tipe bacaan yang saya favoritkan buat diri saya pribadi karena di dalamnya mengandung banyak unsur kevulgaran. Yah, namanya juga novel dewasa ya. Meskipun demikian, edisi terjemahan oleh Bentang ini lumayan sudah lebih disamarkan kevulgarannya, tidak ekstrem, mungkin sudah disensor. Selain itu, gagasan seks bebas di dalamnya juga tidak saya setujui. Meskipun setiap orang butuh kebebasan, bukan berarti seks juga bisa bebas-bebas saja dilakukan tanpa ikatan pernikahan. Dan, iya, penilaian saya di bagian ini memang sangat subyektif dan personal.
Lantas, setelah tahun 1984 lewat, apakah novel ini masih relevan? Saya katakan ‘masih’, bahkan dengan tambahan kata ‘sangat’. Mengapa? Anda tahu ‘kan sistem label atau barcode yang sudah familiar saat ini? Atau pernah mendengar tentang chip RFID (Radio-frequency identification)? Sistem label dan RFID sama-sama memungkinkan pengguna mengidentifikasi data apa saja yang diinginkan dari suatu obyek. Label dan RFID bisa dipasang atau dimasukkan ke dalam sebuah produk, termasuk hewan dan manusia. Chip RFID sudah mulai diterapkan untuk memantau hewan-hawan di peternakan. Bahkan, penggunaannya terhadap manusia juga pernah diuji coba di Amerika Serikat oleh salah seorang pemilik klub VIP. Meskipun wacana RFID terhadap manusia menuai pro dan kontra, tapi siapa yang akan tahu jika chip super kecil ini suatu saat juga akan masuk ke dalam tubuh manusia secara massal?
Konsep RFID ini sangat mirip prinsipnya dengan apa yang dikisahkan di novel 1984, hanya saja dengan teknologi yang lebih canggih. Dengan adanya RFID di dalam tubuh manusia nantinya, pengendali chip bisa melakukan track data apa saja seperti data keuangannya, keberadaannya, emosionalnya, dan sebagainya, tergantung apa yang mereka inginkan. Privasi sudah tak lagi dimiliki oleh setiap individu. Dan ini bukanlah sesuatu yang mustahil jika suatu saat akan menjadi kengerian tersendiri sesuai zamannya, seperti yang terjadi saat novel 1984 terbit. Dan rasanya, ilustrasi sampul dengan gambar barcode versi terbitan Bentang ini sangat cocok untuk mewakili isi buku. Jadi menurut saya, ketika muncul pertanyaan di pengantar buku ini, “Apakah novel ini masih akan mampu bertahan di rak buku?”, maka jawaban saya adalah, “Masih.”
#RabuReview #MedanMembaca
No comments: